Suhail bin amr |
Rasulullah SAW menjawab, “Jangan, wahai Umar! Aku tidak mau merusak tubuh seseorang, karena nanti Allah akan merusak tubuhku walaupun aku seorang Nabi!”
Kemudian Rasulullah menarik Umar ke dekatnya, lalu bersabda, “Hai Umar, mudah-mudahan esok, pendirian Suhail akan berubah seperti yang kamu sukai!”
Di akhir tahun keenam hijrah, Rasulullah SAW bersama para sahabatnya pergi ke Makkah dengan tujuan berziarah ke Baitullah dan melakukan umrah. Keberangkatan Rasulullah ini bukanlah bermaksud hendak berperang, jadi perjalanannya tanpa mengadakan persiapan untuk peperangan.
Keberangkatan mereka ini diketahui oleh Quraisy, hingga mereka pergi menghadang. Mereka bermaksud menghalangi kaum Muslimin berangkat ke kota Makkah. Suasana pun menjadi tegang dan hati kaum Muslimin menjadi berdebar-debar.
Rasulullah berkata kepada sahabatnya, “Jika pada waktu ini Quraisy mengajak kita untuk berdamai, tentu akan kukabulkan!” Maka, setiap utusan Quraisy kepada Nabi SAW dijelaskanlah kepada mereka bahwa kedatangannya bukanlah untuk berperang.
Kedatangan kaum Muslimin semata-mata untuk mengunjungi Baitullah Al-Haram dan menjunjung tinggi upacara-upacara kebesarannya.
Utusan-utusan itu datang bergantian. Quraisy terus mengirim utusan yang lebih bijak dan lebih disegani sehingga tibalah giliran Urwah bin Mas’ud Ats-Tsaqafi. Seorang yang lebih tepat untuk diserahi tugas seperti ini. Menurut anggapan Quraisy, ia akan mampu meyakinkan Rasulullah untuk kembali pulang ke Madinah.
Namun tak lama kemudian, Urwah kembali kepada kaumnya, seraya berkata, “Wahai rekan-rekanku kaum Quraisy, saya sudah pernah mendatangi Kaisar Kisra dan kepada Negus di Istana mereka masing-masing. Demi Allah, tak seorang dari mereka yang saya lihat lebih dihormati oleh rakyatnya, seperti Muhammad oleh para sahabatnya. Sungguh, di sekitarnya saya dapati suatu kaum yang sekali-kali takkan rela membiarkannya mendapat cedera. Nah, pertimbangkanlah apa yang hendak kalian lakukan dengan hati-hati!”
Saat itu, orang-orang Quraisy pun merasa yakin bahwa usaha-usaha mereka tidak ada faidahnya, hingga mereka memutuskan untuk menempuh jalan berunding dan perdamaian.
Dan untuk melaksanakan tugas ini mereka pilihlah pemimpin mereka yang lebih tepat, tiada lain dari Suhail bin Amr.
Kaum Muslimin melihat Suhail datang dan mengenal siapa dia. Maka maklumlah mereka bahwa orang-orang Quraisy akhirnya berusaha untuk berdamai dan mencapai saling pengertian, dengan alasan bahwa yang mereka utus itu ialah Suhail bin Amr.
Suhail duduk berhadapan muka dengan Rasulullah, dan terjadilah perundingan yang berlangsung lama di antara mereka, yang berakhir dengan tercapainya perdamaian.
Dalam perundingan ini Suhail berusaha hendak mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya untuk Quraisy. Disokong pula oleh toleransi luhur dan mulia dari Nabi SAW yang mendasari berhasilnya perdamaian tersebut.
Sementara itu, waktu terus berjalan hingga tibalah tahun kedelapan Hijriyah. Rasulullah bersama kaum Muslimin berangkat untuk membebaskan Makkah. Quraisy melangar perjanjian dan ikrar mereka dengan Nabi SAW sehingga orang-orang Muhajirin pun kembali ke kampung halaman mereka.
Bersama mereka ikut pula orang-orang Anshari. Kembalilah pula Islam secara keseluruhannya, mengibarkan panji-panji kemenangannya di angkasa luas. Dan Kota Makkah pun membukakan semua pintunya. Sementara orang-orang musyrik terpaku dalam kebingungannya.
Rasulullah yang amat pengasih ternyata tidak hendak membiarkan mereka meringkuk demikian lama di bawah tekanan perasaan yang amat pahit dan getir ini. Dengan dada yang lapang dan sikap lemah lembut, dihadapkan wajahnya kepada mereka, “Wahai segenap kaum Quraisy,” kata beliau. “Apakah menurut sangkaan kalian, yang akan aku lakukan terhadap kalian?”
Mendengar itu tampillah musuh Islam kemarin, Suhail bin Amr, memberikan jawaban, “Harapan yang baik. Anda adalah saudara kami yang mulia, dan putra saudara kami yang mulia!”
Sebuah senyuman yang bagaikan cahaya, tersungging di kedua bibir Rasulullah kekasih Allah itu, “Pergilah, kalian bebas!”
Ucapan yang keluar dari mulut Rasulullah itu tidaklah akan diterima begitu saja oleh orang yang masih mempunyai perasaan, kecuali dengan hati yang telah menjadi peleburan dan perpaduan antara rasa malu, ketundukan dan penyesalan.
Pada saat itu juga, suasana yang penuh dengan keagungan dan kebesaran ini telah membangkitkan semua kesadaran Suhail bin Amr, menyebabkannya menyerahkan dirinya kepada Allah Rabbul Alamin.
Dan keislamannya itu, bukanlah keislaman seorang laki-laki yang menderita kekalahan lalu menyerahkan dirinya kepada takdir di saat itu juga.
Keislaman Suhail yang terpikat dan terpesona oleh kebesaran Nabi Muhammad SAW dan kebesaran agama yang diikuti ajaran-ajarannya oleh Nabi Muhammad, dan yang dipikulnya bendera dan panji-panjinya dengan rasa cinta yang mendalam.
Orang-orang yang masuk Islam di hari pembebasan Kota Makkah itu disebut “thulaqa” artinya orang-orang yang dibebaskan dari segala hukum yang berlaku bagi orang yang kalah perang, karena mereka mendapat amnesti dan ampunan dari Rasulullah. Dengan kesadaran sendiri mereka pindah dari kemusyrikan ke agama tauhid.
Agama Islam telah menempa Suhail dengan ideologi baru. Semua kelebihan dan keahliannya selama ini menambah kokoh imannya. Sehingga orang-orang melukiskan sifatnya dalam beberapa kalimat, “Pemaaf, pemurah, banyak shalat, shaum dan bersedekah serta membaca Alquran dan menangis disebabkan takut kepada Allah.”
Demikianlah kebesaran Suhail. Walaupun ia menganut Islam di hari pembebasan dan bukan sebelumnya, tetapi kita lihat dalam keislaman dan keimanannya itu mencapai kebenaran tertinggi, sedemikian tinggi hingga dapat menguasai keseluruhan dirinya dan merubahnya menjadi seorang abid dan zahid, dan seorang mujahid yang mati-matian berkorban di jalan Allah.
Tatkala Rasulullah berpulang ke rahmatullah, berita itu sampai ke Makkah. Waktu itu Suhail sedang bermukim di sana. Kaum Muslimin yang berada di sana menjadi resah dan gelisah serta ditimpa kebingungan, seperti halnya saudara-saudara mereka di Madinah.
Untunglah keadaan itu segera ditenteramkan oleh Abu Bakar RA dengan kalimat-kalimatnya yang tegas, “Barangsiapa yang menyembah Muhammad maka sesungguhnya Muhammad telah wafat! Dan barangsiapa yang menyembah kepada Allah, maka sesungguhnya Allah tetap hidup dan takkan mati untuk selama-lamanya!”
Kalau Abu Bakar berhasil menenangkan kaum Muslimin, di Madinah, maka tindakan yang sama juga dilakukan Suhail di Makkah. Dikumpulkannya seluruh penduduk, lalu berdiri memukau mereka dengan kalimat-kalimatnya yang mantap, memaparkan bahwa Muhammad itu benar-benar Rasul Allah dan bahwa ia tidak wafat sebelum menyampaikan amanat dan melaksanakan tugas risalat.
Dan sekarang, menjadi kewajiban bagi orang-orang mukmin untuk meneruskan perjalanan menempuh jalan yang relah digariskannya. Maka dengan langkah dan tindakan yang diambil oleh Suhail ini, serta dengan ucapannya yang tepat dan keimanannya yang kuat, terhindarlah fitnah yang hampir saja menumbangkan keimanan sebagian manusia di Makkah ketika mendengar wafatnya Rasulullah.
Dan pada hari itu pula, lebih dari saat-saat lainnya, terpampanglah secara gemilang kebenaran dari nubuwah Rasulullah SAW. Bukankah telah dikatakannya kepada Umar ketika ia meminta izin untuk mencabut dua buah gigi Suhail sewaktu ia tertawan di perang Badar.
Ketika sampai ke telinga kaum Muslimin di Madinah tindakan yang diambil Suhail di Makkah serta pidatonya yang mengagumkan dan mengukuhkan keimanan dalam hati, teringatlah Umar bin Khathab akan ramalan Rasulullah.
Lama sekali ia tertawa, karena tibalah hari yang dijanjikan itu, di saat Islam beroleh manfaat dari dua buah gigi Suhail yang sedianya akan dicabut dan dirontokkannya.
Di saat Suhail masuk Islam di hari dibebaskannya Kota Makkah. Dan setelah ia merasakan manisnya iman, ia berjanji terhadap dirinya yang maksudnya dapat disimpulkan pada kalimat-kalimat berikut ini:
“Demi Allah, suatu suasana yang kualami bersama orang-orang musyrik, pasti akan kualami pula seperti itu bersama kaum Muslimin. Dan setiap nafkah yang kubelanjakan bersama orang-orang musyrik, pasti akan kubelanjakan pula seperti itu bersama kaum Muslimin. Semoga perbuatan-perbuatanku belakangan ini akan dapat mengimbangi perbuatan-perbuatanku terdahulu.”
Dahulu dengan tekun ia berdiri di depan berhala-berhala. Maka sekarang ia akan berbuat lebih dari itu berdiri di hadapan Allah Yang Maha Esa bersama orang-orang Mukmin. Itulah sebabnya ia terus shalat dan shalat, tekun shaum dan shaum, segala macam ibadah yang dapat menyucikan jiwa dan mendekatkan diri kepada Allah SWT pasti dilakukannya sebanyak-banyaknya.
Demikian pula di masa silam, ia berdiri di arena peperangan bersama orang-orang musyrik menghadapi Islam. Maka sekarang ia harus tampil di barisan tentara Islam sebagai prajurit yang gagah berani, untuk memadamkannya bersama para pendekar kebenaran.
Suhail sangat mencintai kampung halamannya, Makkah. Walaupun demikian, ia tak hendak kembali ke sana setelah kemenangan kaum Muslimin di Suriah. Ia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Ketekunan seseorang pada suatu saat dalam perjuangan di jalan Allah, lebih baik baginya daripada amal sepanjang hidupnya.’ Maka sungguh Aku akan berjuang di jalan Allah sampai mati, dan takkan kembali ke Makkah!”
Suhail memenuhi janjinya ini. Dan ia tetap berjuang di medan perang sepanjang hayatnya, sehingga tiba saat keberangkatannya. Maka ketika ia pergi, segeralah rohnya terbang mendapatkan rahmat dan keridhaan Allah.
Itu cerita/sejarahnya shohihkan???
BalasHapusInsya Allah,Biar lebih pastinya silahkan tanyakan langsung aja sama mubaleg atau mubalegot terdekat.
HapusAlhamdulilah Jazaklhrh
Insyaallah itu benar adanya.semoga kan jadi mahabbah utk kita lebih baik lg
BalasHapus