Ayyasy bin Rabi’ah dan Salamah bin hisyam |
Perintah dan izin hijrah kemadinah sampai juga ketelinga Umar bin Khattab, maka ia pun bersiap dan bersegera hijrah bersama dua orang sahabatnya.
Ibnu Ishaq[1] meriwayatkan dari Umar bin Khathab radhiallahu ‘anhu , ia berkata, “Ketika kami hendak berhijrah ke Madinah, aku, ‘Ayyasy bin Rabi’ah dan Hisyam bin al ‘Aash bin Wa’il sepakat bertemu di Tanadhib (serumpun pepohonan) di daerah subur Bani Ghaffar di atas salah satu lembah Mekkah. Kami mengatakan, barang siapa yang tidak disana pada pagi harinya, berarti ia tertahan; maka hendaklah dua temannya berangkat hijrah. “
Ketika pagi hari, aku dan ‘Ayyasy datang kesana, ternyata Hisyam tertahan tidak bisa berangkat. Dia disiksa sehingga kembali seperti dulu lagi.
Umar dan Ayyasy akhirnya sampai di Madinah, lalu singgah di perkampungan Bani ‘Amr bin ‘Auf di daerah Quba.
Sementara Abu Jahl dan Harits bin Hisyam menyusul ‘Ayyasy bin Rabi’ah sampai ke Madinah. Karena ‘Ayyasy ialah sepupu mereka dan juga saudara seibu. Setelah berjumpa dengan ‘Ayyasy, mereka berkata, “Wahai Ayyasy, demi Allah! Ibumu sudah bernadzar tidak akan menyisir rambutnya sampai ia bisa melihatmu.”
Mendengar penuturan ini ’Ayyasy merasa kasihan terhadap ibunya. Akhirnya ia kembali lagi ke Mekkah bersama Abu Jahl dan Harits bin Hisyam. Umar bin Khathab sudah berusaha mencegahnya agar tidak kembali ke Mekkah, sebab kawatir orang-orang ini akan mencelakakannya. Akan tetapi ‘Ayyasy tetap bersikukuh kembali ke Mekkah.
Ternyata dugaan Umar bin Khathab radhiallahu ‘anhu benar. Sebelum sampai di Mekkah, mereka menyerang ‘Ayyasy dan mengikatnya, lalu membawanya masuk Mekkah dalam keadaan terikat.
Umar radhiallahu ‘anhu berkata, “Dulu kami berpandangan, Allah tidak akan menerima perbuatan, keadilan dan taubat orang yang terkena fitnah. Yaitu orang yang telah mengenal Allah kemudian kembali kepada kekufuran karena musibah yang menimpa mereka. Mereka mengatakan hal itu untuk diri mereka.
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah sampai di Madinah, Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan sebuah ayat tentang perkataan kami dan perkataan mereka untuk diri mereka, yaitu (yang artinya), “Katakanlah, ‘Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan kembalilah kamu kepada Rabbmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang adzab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi). Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Rabbmu sebelum datang adzab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadariny.’” (Q.S Az-Zumar/39 ayat 53-55).
Lalu aku menulis firman Allah tersebut dalam sebuah lembaran dengan tanganku, dan aku kirimkan kepada Hisyam bin al ‘Aash.
Umar berkata, “Hisyam berkata,’Ketika kiriman Umar itu sampai kepadaku, aku membacanya di Dziy Thuwa,[2] akan tetapi aku kesulitan memahaminya, sampai aku mengatakan, wahai Allah, pahamkanlah aku tentangnya. Lalu Allah pun memberikan pemahaman ke dalam dadaku, bahwa ayat ini tentang kami, ucapan kami, tentang diri kami, dan juga pendapat yang diarahkan kepada kami’. Aku kemudian menghampiri untaku. Aku naiki dan segera menyusul Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. “[3]
Dalam hadits shahih, diriwayatkan bahwasanya Rasulullah n berdoa setelah rukuk,
اللَّهُمَّ أَنْجِ الْوَلِيدَ بْنَ الْوَلِيدِ وَسَلَمَةَ بْنَ هِشَامٍ وَعَيَّاشَ بْنَ أَبِي رَبِيعَةَ …
“Wahai Allah! Selamatkanlah Al-Walid bin Al-Walid, Salamah bin Hisyam dan ‘Ayyasy bin Abi Rabi’ah.”[4]
Dalam riwayat lain terdapat tambahan,
… اللَّهُمَّ أَنْجِ الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ …
“… Wahai Allah! Selamatkanlah kaum mukminin yang lemah…”.[5]
Demikian, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyelamatkan tiga sahabat ini dan kaum mukmin lainnya.
Alangkah berat dan sulitnya mereka dalam berjuang menjaga Agama. Lalu tidakkah kita mencontoh mereka?!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar