Kamis, 28 Maret 2013

Kisah sahabat nabi : Al-Mutsanna bin Haritsah Asy-Syaibani Radhiallâhu 'anhu

Al-Mutsanna bin Haritsah Asy-Syaibani
Dia tiba-tiba muncul di Madinah untuk menyampaikan usulan yang mengandung risiko tinggi kepada Khalifah Abu Bakar, yaitu menyerang Persia.

Perang Jisr atau Perang Jembatan terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khath­thab. Ketika itu, tentara muslimin di Per­sia berada di bawah komando Abu Ubaid, didampingi oleh Al-Mutsanna bin Haritsah Asy-Syaibani.

Al-Mutsanna, yang berasal dari perba­tasan Bahrain, dilukiskan sebagai se­orang ksatria pemberani dan jujur yang telah makan asam garam peperangan di Persia yang tidak pernah dialami oleh orang lain. Maklum, dia adalah anggota pasukan penunggang kuda yang sangat terkenal dari Bani Syaiban.

Dia masuk Islam langsung di hadap­an Rasulullah SAW pada tahun ke-10 Hijriyyah, menjelang akhir kehidupan be­liau. Sehingga sebagai sahabat dia tidak pernah mengalami peperangan ber­sama junjungannya itu.

Belum Ketahuan Nasabnya

Al-Mutsanna memulai perjalanan pan­­jangnya berjihad di jalan Allah ber­sama Khalifah Abu Bakar Shiddiq, yaitu dalam Perang Riddah, ketika kaum mus­limin me­merangi kaum murtad yang meng­­akui nabi baru selain Nabi Muham­mad SAW. Kala itu Al-Mutsanna berga­bung dengan pasukan Al-A’la bin Al-Hadh­rami, yang ditugasi menumpas kaum mur­tadin di Bahrain.

Tugas pertamanya itu berjalan suk­ses. Selain berhasil mengembalikan se­bagian orang Bahrain kepada ajaran Islam, dia juga menaklukkan kota-kota yang disinggahinya hingga sampai ke tepian Sungai Eufrat dan Tigris di Irak.

Sukses itu tak pelak mengundang ta­nya di antara panglima muslimin di Ma­dinah. “Siapakah orang ini? Dia datang kepada kita sebelum kita ketahui nasab­nya.”

Namun mereka tak perlu berlama-lama menggantung pertanyaan itu, ka­rena Qais bin Ashim At-Tamimi segera menjawab. “Dia adalah pembesar kaum Wabr di dekat Bahrain dan sahabat Nabi yang berhati lembut. Nasabnya bisa di­lacak dengan jelas.”

Ketika orang-orang di Madinah ma­sih terkesan kepadanya, Al-Mutsanna tiba-tiba muncul di Madinah untuk me­nyam­paikan usulan yang mengandung risiko tinggi Kepada Khalifah Abu Bakar, yaitu menyerang Persia, yang saat itu su­dah menjadi musuh Islam.

Ya, sampai detik itu, belum terpikir di kalangan umat muslim untuk menye­rang Persia. Persia kala itu adalah ne­gara adidaya dengan kekuatan militer dan dana yang sangat besar. Namun bagi­nya, itu bukan persoalan. Yang pen­ting ada niat dan kemauan untuk meng­alahkan mereka.

“Mohon berikan amanah kepadaku untuk memimpin kaumku menyerang Persia,” kata Al-Mutsanna kepada Abu Bakar dengan takzimnya. “Aku dan kaumku cukup untuk mengalahkan mereka.” Dengan demikian dia adalah orang Arab pertama yang memotivasi bangsa Arab dan kaum muslimin untuk menyerang Persia.

Demikianlah, dalam masa pemerin­tahan Abu Bakar, yang hanya dua tahun, tahun 11-12 H atau tahun 632-634 M, Al-Mutsanna ikut berjuang dalam bebe­rapa peperangan bersama Khalid bin Walid Al-Makhzumi yang menjadi pang­lima utamanya. Seperti Perang Rantai (633 M) di Shatt Al-Arab di dekat Bashrah, kemudian Perang Sungai (633 M) di daerah Madzar, dan Perang Hirah, yang me­rupakan pengepungan tiga istana Persia, yaitu istana Ibnu Baqilah, istana Putih, dan istana Al-Adsiyin. Ketiga pe­perangan itu semua terjadi di daerah Irak dan dimenangkan oleh kaum muslimin.

Al-Mutsanna bahkan sempat me­nyaksikan kepulangan Abu Bakar ke alam baqa, yaitu ketika dia datang ke Ma­dinah ingin melaporkan strategi mili­ter yang dia terapkan dalam pertem­pur­an di Namariq. Kala itu sebenarnya dia ingin minta izin untuk minta bantuan dari orang-orang yang pernah murtad lalu bertaubat. Namun karena jawaban tak kunjung datang, dan rupanya Abu Bakar tengah sakit, dia pun pergi ke Madinah, se­telah menyerahkan tanggung jawab kepemimpinan dan tentaranya kepada Basyir bin Khashashiyah.

Khalifah Abu Bakar puas dengan pen­jelasannya dan beberapa hari ke­mudian beliau menghadap Ilahi.

Tragedi Jisr

Perang Jisr memang terjadi di se­putar jembatan di daerah Mirwahah yang membentang di Sungai Eufrat, Irak. Kala itu pasukan Persia dalam keadaan gontai setelah berbagai kekalahan meng­hadapi tentara muslimin yang di­komandani Abu Ubaid.

Ketika sampai di Qiss Al-Natif, Ros­tam, si panglima tentara Persia, meng­angkat Bahman Jadhweh dan memim­pin tentara gajah menuju Madain, ibu kota Persia, untuk menghadapi gerak maju pasukan muslimin dan berperang melawan mereka.

Di seberang Sungai Eufrat yang ber­nama Mirwahah, Abu Ubaid, yang di­dam­pingi Al-Mutsanna, telah siap me­nanti mereka

Dari seberang sungai, Bahman ber­teriak, “Siapa yang akan menyeberangi sungai ini, kami atau kalian?”

Para sahabat Rasulullah SAW ingin menasihati Abu Ubaid agar tidak menye­berang sungai.

Namun Abu Ubaid bersikeras. “Mu­suh kita tidak lebih berani mati daripada kita,” katanya menepis nasihat itu.

Maka ia memberi komando agar pa­sukannya, yang berkekuatan 10 ribu per­sonel, menyeberangi sungai. Padahal tempat di seberang sungai tidak cukup luas untuk menampung orang sebanyak itu.

Begitu pasukan muslimin sampai di seberang, Bahman tidak membuang-buang waktu dan segera menyerang kaum muslimin dengan menyertakan pa­sukan gajahnya di barisan terdepan.

Ternyata cara itu ampuh, kuda-kuda tentara muslimin kocar-kacir ketakutan dan berusaha menjauh.

Hal itu memaksa tentara berkuda pim­pinan Al-Mutsanna turun dari pung­gung kuda mereka. Namun tentara mu­suh pun tetap merangsek, hingga ba­nyak korban berjatuhan di kubu muslim­in. Dalam pertempuran ini Abu Ubaid mati syahid terinjak gajah yang meng­amuk dan Al-Mutsanna sendiri luka-luka.

Melihat situasi seperti itu, Al-Mutsan­na, yang otomatis memegang komando, me­merintahkan pasukannya untuk mun­dur ke seberang sungai.

Tapi usaha penyeberangan ini tidak berjalan mulus, karena tiba-tiba salah seorang komandan muslimin yang ber­nama Abdullah bin Mirdad Ats-Tsaqafi memutus jembatan tersebut sehingga banyak tentara muslimin yang kecebur ke sungai dan tewas. Karena pilihannya menurut dia cuma ada dua: maju terus, atau mati syahid.

Al-Mutsanna lalu berusaha memper­baiki jembatan itu, sementara pasukan­nya menyeberanginya, sehingga dia sen­diri adalah orang terakhir yang me­nyeberangi jembatan itu.

Setiba di Juraih, sebagian tentara itu kembali ke Madinah, sementara yang lainnya menyebar ke pelosok-pelosok dengan membawa kekalahan.

Mendengar berita itu, Umar langsung menemui mereka dan berusaha menghi­bur mereka. “Jangan kalian risau, aku bersama kalian. Sesungguhnya kalian telah melaksanakan tugas. Maka barang siapa bertemu musuh, lantas ada hal yang membuatnya tidak meneruskan lang­kah, aku akan tetap bersamanya.”

Pasukan muslimin memang kalah da­lam Perang Jembatan. Namun kemu­di­an mereka melangkah menuju keme­nang­an di medan perang lainnya. Dan Al-Mutsanna bin Haritsah berperan se­bagai panglima perang yang memimpin kemenangan-kemenangan itu.

1 komentar: