|
Umair bin Wahab
|
Setelah Perang Badar usai, kaum Muslimin menawan sejumlah pasukan musuh.
Di antara orang-orang Quraisy yang tertawan adalah seorang yang bernama
Wahab bin Umair bin Wahab Al-Jumahy.
Ayahnya, Umair bin Wahab Al-Jumahy, adalah pahlawan Quraisy dan seorang yang sangat memusuhi Rasulullah SAW.
Yang
membuat Umair sangat sedih, putra kesayangannya, Wahab, kini ditawan
pasukan kaum Muslimin. Bagaimana nasib anaknya ditangan pasukan
lawannya? Pikirannya selalu gelisah.
Setiap hari, siang dan
malam Umair selalu resah dan gelisah. Pikirannya selalu melayang ke buah
hatinya yang sangat disayanginya itu.
Pada suatu hari ia
duduk-duduk bersama sahabat karibnya, Shafwan bin Umayah, seorang pemuda
anak seorang pemimpin Quraisy. Saat itu Shafwan juga sedang dalam duka
yang mendalam karena ayah kesayangannya mati di Perang Badar.
Kedua orang yang sedang dalam duka ini berkumpul dan berbincang-bincang mengenai langkah apa yang seharusnya dilakukan.
Di
dekat Ka’bah (Hijr) Umair dan Shafwan duduk termenung bersama, lalu
keduanya selalu menyebut nama pahlawan-pahlawan Quraisy yang terbunuh di
Badar. Di tengah kesempatan itu Shafwan berkata, “Demi Allah, tidak ada
kehidupan yang lebih baik sesudah mereka kini, sesudah kematian
pahlawan-pahlawan Quraisy.”
“Demi Allah, memang begitu,” timpal
Umair. “Amat benarlah katamu itu wahai Shafwan. Demi Allah, seumpama aku
tidak punya pinjaman yang banyak, yang kini aku belum dapat
melunasinya. Dan seumpama aku tidak punya banyak anak yang selalu aku
khawatirkan makannya jika aku tinggal mati, niscaya aku datang kepada
Muhammad, dan aku bunuh dia. Hatiku amat sakit padanya. Mengapa dia
sampai berani menawan anak yang kucintai?”
Sebagai sahabat yang
baik dan didorong oleh rasa dendam yang sama kepada seorang Muhammad,
Shafwan berkata, “Ah, kalau betul-betul kau hendak membunuh Muhammad aku
sanggup membayar lunas semua pinjamanmu. Adapun anak-anakmu biar
bersama-anak-anakku dan orang-orang yang jadi tanggunganku. Akulah yang
menanggung makannya selama aku masih hidup.”
Umair dengan pandangan yang berbinar senang menyahut, “Betulkan begitu, hai Shafwan?”
“Mengapa tidak? Aku tokh seorang laki-laki bukan, Kau jangan khawatir!”
Umair
menyahut, “Kalau memang betul-betul kamu sanggup, baiklah sekarang hal
ini kita rahasiakan jangan sampai ada seorang pun yang mendengar!”
Shafwan berkata, “Ya, baiklah! Dan segera kerjakanlah!”
Keduanya
kemudian pulang ke rumah masing-masing. Sesampai di rumah Umair segera
berkemas-kemas dan menyediakan alat-alat dengan selengkapnya. Pada pagi
harinya, berangkatlah Umair dengan membawa senjata yang amat tajamnya,
di antara yang dibawanya adalah pedang beracun.
Di Madinah, selagi Umar bin Khathab bercakap-cakap dengan sekelompok
kaum Muslimin tentang Perang Badar dan mereka menyebut-nyebut
pertolongan Allah kepada mereka, tiba-tiba terdengar suara datangnya
seseorang.
Ketika Umar menoleh, tampaklah olehnya Umair bin
Wahab yang sedang bergerak menuju ke arah masjid. Umar berkata kepada
para sahabat, “Itu dia si Umair bin Wahab, musuh Allah! Demi Allah,
pasti kedatangannya untuk maksud jahat. Dialah yang menghasut orang
banyak dan mengerahkan mereka untuk memerangi kita di Perang Badar!”
kata Umar berang.
Pandangan Umar terus tertuju pada setiap
langkah unta yang ditunggangi Umair. Umair terus bergerak ke arah
masjid, tempat sekelompok Kaum Muslimin berkumpul. Pandangannya di
arahkan ke kiri dan ke kanan, mencari tahu di mana tempat Muhammad.
Pedang
beracun andalannya dihunuskan, dengan mata dan muka merah seolah-olah
sedang mabuk. Ia duduk tegak di atas untanya. Kemudian setelah ia sampai
di masjid, turunlah ia dan mengikat untanya.
Saat itu,
Rasulullah ada di dalam rumah. Dengan cepat Umar RA berlari menuju ke
sana dan masuk ke dalam rumah, sambil berkata dengan suara yang sangat
nyaring, “Ya Rasulullah, itulah seteru Allah si Umair bin Wahab telah
datang dengan menyelempangkan pedangnya.”
Lalu Umar membawa masuk
Umair menghadap Nabi. Bagai harimau yang kehilangan gigi, Umair sama
sekali tidak berkutik ketika tali pedang beracunnya dipegang oleh Umar
RA . Ada ketakutan yang tidak bisa disembunyikan ketika Umair berhadapan
dengan Umar.
Ia hanya diam tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.
Memang, selamanya pahlawan-pahlawan bangsa Quraisy takut kepada Umar.
Sesampai di hadapan Nabi, lalu beliau bersabda, “Lepaskanlah dia, wahai
Umar!” Umar segera mematuhi perintah Rasulullah SAW.
“Selamat pagi untukmu, hai Muhammad!” kata Umair. Ucapan penghormatan
seperti itu adalah seperti yang lazimnya dilakukan masyarakat
jahiliyah.
Lalu Rasulullah bersabda, "Sesungguhnya Allah telah memuliakan kami
dengan suatu ucapan kehormatan yang lebih baik dari ucapanmu itu, hai
Umair. Penghormatan itu ialah Salam.”
Selanjutnya Nabi bertanya kepada Umair, “Hai Umair sesungguhnya kamu ini datang kemari untuk apa?”
Ia menjawab, “Ya Muhammad, aku datang kemari ini hendak bertemu dengan anakku yang sekarang ada di tanganmu.”
Nabi SAW berkata, “Tidak! Sebenarnya saja. Kamu jangan berdusta.”
“Betul,
ya Muhammad,” jawab Umair. “Sesungguhnya aku hendak bertemu dengan
anakku, dan aku hendak meminta kepadamu supaya engkau berbuat baik
kepadanya.”
Nabi berkata lagi, “Apa gunanya pedang yang kamu bawa itu?”
“Pedang ini tidak ada gunanya sedikit jua pun bagiku. Mudah-mudahan Allah menjelekkan pedang ini,” jawab Umair.
“Tidak begitu, ya Umair! Adakah kamu membenarkan, jika aku mengatakan (menerangkan) segala apa maksudmu datang kemari.”
“Aku tidak datang kemari melainkan untuk itu, Muhammad.”
Nabi
dengan tersenyum lalu berkata, “Ah, tidak begitu! Mesti ada maksud lain
yang kamu simpan. Cobalah dengarkan, beberapa saat yang lalu, kamu
duduk bersama-sama dengan Shafwan bin Umayyah di Hijr, lalu kamu dan
Shafwan menyebut kaum Quraisy yang tertanam semuanya di sumur Badar.
Selanjutnya, kamu berkata begini dan begitu, dan Shafwan juga berkata
begini dan begitu. Lantas kamu menyahut begini. Bukankah begitu?”
Keterangan Nabi sedikit pun tidak berselisih dari apa yang diperbincangkan oleh Umair kepada Shafwan pada waktu itu.
Umair lalu bertanya, “Ya Muhammad, Mengapa engkau tahu begitu jelas? Padahal waktu itu tidak ada seorang pun yang tahu.”
“Tentu saja aku tahu, karena ada yang memberitahukan kepadaku. Dan betulkan semua yang kukatakan itu!”
Saat
itu, benih kebencian yang semula ada berubah menjadi kagum terhadap
sosok Muhammad SAW. Dan seketika itu juga Umair mengucapkan dua kalimat
syahadat. “Aku bersaksi bahwa sesungguhnya tuan itu Pesuruh Allah.
Sungguh aku dulu mendustakan engkau Muhammad, dengan segala apa yang
telah engkau datangkan dari langit dan segala apa yang diturunkan atas
engkau.”
“Perkara yang engkau katakan tadi, sungguh ketika aku
bercakap-cakap dengan Shafwan, tidak ada seorang pun yang tahu,
melainkan aku sendiri dan Shafwan. Sesungguhnya demi Allah, aku sekarang
mengerti dan sangat percaya, bahwa segala apa yang datang kepadamu itu
tidak lain dan tidak bukan, melainkan dari Allah sendiri.”
Membela agama AllahSelanjutnya,
Umair meminta izin kepada Nabi hendak pulang bersama anaknya (yang
telah dibebaskan oleh Rasulullah). “Ya Rasulullah,” ujarnya. “Dulu aku
seorang pembela bagi pemadam cahaya Allah yang sangat menyakitkan kepada
orang-orang yang mengikuti agama Allah dan amat menyakitkan kepada tuan
yang nyata-nyata pesuruh Allah.”
“Oleh sebab itu, aku hendak
pulang ke Makkah, dan sengaja memohon izin kepada tuan. Di Makkah akan
kusampaikan kepada kawan-kawan Quraisy supaya mereka ikut kepada utusan
Allah dan Rasul-Nya. Supaya mereka memeluk Islam. Mudah-mudahan saja
mereka mendapat petunjuk dari Allah. Dan jika tidak suka mengikuti, aku
akan menyakiti mereka sebagaimana aku dulu menyakiti sahabat-sahabat
Tuan.”
Darah syuhada telah mengalir ke dalam setiap sel tubuh
Umair. Dengan semangat kepahlawanan, ia berusaha ingin menutupi segala
kesalahan dan dosa yang telah diperbuatnya di masa jahiliyah kemarin.
Umar
bin Khathab pun berubah menjadi sangat cinta kepadanya. “Demi Allah
yang diriku di tangan-Nya. Sesungguhnya aku lebih suka melihat babi
daripada si Umair sewaktu mula-mula muncul di hadapan kita. Tapi
sekarang aku lebih suka kepadanya daripada sebagian anakkku sendiri.”
Sementara
itu, berita keislaman Umair sudah mulai ramai dibicarakan. Setiap
rombongan yang datang dari Madinah, tidak ada kata yang terlewat, selain
membicarakan kepindahan Umair ke agama Muhammad SAW. Bumi terasa
berputar bagi Shafwan.
Peristiwa yang diharap-harapkannya akan
dapat menggembirakan kaumnya dan melupakan kejadian Perang Badar dengan
meninggalnya Muhammad, kenyataan yang datang bagai petir menyambar.
Sesampai di Makkah, Umair dengan sungguh-sungguh berseru kepada kaum musyrikin Quraisy, terutama kepada Shafwan.
Dan
pada suatu hari ia datang kepadanya seraya berkata, “Hai Shafwan, kau
itu seorang ketua (penghulu) kaum Quraisy, tapi mengapa kamu menyembah
kepada batu-batu dan berhala itu? Demi Allah, sekarang aku telah
menyaksikan, bahwa sesungguhnya tiada Tuhan melainkan Allah dan
menyaksikan pula bahwa sesungguhnya Muhammad itu hamba dan utusan-Nya.
Aku mengajakmu, hendaklah kamu mengikuti Muhammad!”
Shafwan
ketika itu tidak menjawab sepatah kata pun (seperti yang sudah
diikrarkannya sendiri). Ia sangat marah kepada Umair. Ia bahkan
bermaksud akan menyerangnya karena merasa dikhianati. Tapi niat itu
segera urung melihat Umair masih mengusung pedangnya.
Shafwan menghindar dan mengambil sikap berseberangan dengan Umair.
Sebagai sahabat karib, Umair merasa sangat kasihan dengan kenyataan itu.
Setelah beberapa lama Shafwan tidak lagi terlihat batang hidungnya.
Sementara
jumlah orang-orang Quraisy yang masuk Islam dan mengikuti jejak Umair
semakin banyak. Mereka dibawa secara berombongan menuju Madinah untuk
menghadap Rasulullah SAW dan belajar Alquran langsung kepada beliau.
Ketika
Fathu Makkah, Umair mencium berita rencana Shafwan berangkat ke Jeddah
untuk berlayar ke Yaman. Ia akan melakukan bunuh diri dengan terjun ke
laut karena diburu rasa takut kepada Muhammad SAW. Umair kemudian
menghadap Rasulullah dan mengadukan akan hal ini.
Umair berkata,
“Ya Nabi Allah, sesungguhnya Shafwan itu adalah penghulu kaumnya, ia
hendak pergi melarikan diri dengan terjun ke laut karena takut kepada
Anda. Maka mohon Anda beri ia keamanan dan perlindungan, semoga Allah
melimpahkan karunia-Nya kepada anda.”
Jawab Nabi, “Dia Aman!”
Umair
pun segera pergi mengejar Shafwan yang hendak berangkat berlayar.
Sembari membawa sorban yang dikenakan Rasulullah ketika memasuki Kota
Makkah, ia menunjukkannya kepada Shafwan sebagai jaminan. Umair
mengatakan bahwa Rasulullah bersedia menjamin keamanan dan perlindungan
kepadanya. Karena belum, yakin Shafwan akhirnya diajak menghadap
Rasulullah SAW.
Sejak saat itu, Shafwan mengucapkan dua kalimat
syahadat, mengikuti jejak yang telah ditempuh oleh Umair bin Wahab
Al-Jumahi. Umair pun melanjutkan perjalanan hidupnya yang penuh berkah.
Ia berjuang menegakkan agama Allah untuk melepaskan umat manusia dari
kesesatan dan mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya yang
terang benderang, Islam.